Per(T)empu(R)an: Bukan Identitas Semata

Di tengah gempuran penolakan patriarkal yang begitu merongrong tarian di otak saya dalam krisis pencarian saya, huft. Rasa-rasanya gundah  dan dendam mewarnai bahwa pada akhirnya saya hanya ingin masuk bergabung menjadi pelaku utama dalam aksi patriarkal tersebut. Bukan untuk menjadi korban.

Entah apa yang telah dibawa hawa untuk titisan anak dan kaumnya? Per(t)empu(r)an yang berakar dari kata 'gempur' kah?

Rasa-rasanya saya ingin menangis, tapi itu bukan saya. Lantas apa itu Perempuan?
Dengan kaumnya dan lidah menjatuhkan untuk sesamanya?
Dengan kaumnya dan rasa tak mau kalah antar sesamanya?
Dengan kaumnya dan sifat saling mengelabuhi kepada sesamanya?

Naif.

Saya kira yang salah dalam konsep mendunia adalah strukturnya, ternyata tidak juga. Kaum Marjinal punya strukturnya sendiri, Kaum feminis punya strukturnya sendiri. Begitu juga kaum patriarkal yang punya powernya sendiri. Hingga saya sadar, semua tidaklah begitu hina, melainkan lebih hina tentang cara masing-masing bagaimana menjalankan strukturnya tersendiri hingga terkesan fanatik dan merugikan bagi orang lain.

Sekali lagi, ini hanyalah ruang perspektif saya yang tak pernah ada habisnya untuk berperang di otak saya.

Lantas, perempuan. Ada apa dengannya kali ini?


(Dok. Pribadi)
"Saya tidak akan membatasi diri saya hanya karena orang tidak akan menerima kenyataan bahwa saya dapat melakukan hal lain."

Ini bukan tentang saya, tapi sekelilingnya yang membangun saya. Saya bukanlah sosok yang terlahir di lingkungan patriarkal yang membuat saya untuk merongrong tentang kebebasan feminisme dan sejenisnya. Tapi lingkungan saya bertumbuh mendukung saya untuk melihat perspektif tentang objek keduanya dan beragam permasalahannya.

Bagi mereka yang terlahir dalam belenggu patriarkal yang kental mungkin  akan selalu kehabisan nafas jika dipaksa harus bergerak sendiri karena ketergantungannaya dan selalu dianggap sebagai kaum inferior yang selalu tunduk, patuh dan tak banyak berontak. 

Bisa lihat poinnya?

Namun, tak sedikit dari mereka yang terlahir begitu akan merasa selalu di titik terendah ada masa-masa dimana mereka akan bersinar menjadi dirinya dan mempertanyakan kebebasan haknya. Sederhananya menjadi ragam manusia bendera pink atau pun tembok childfree?

Bisa lihat poinnya sekali lagi?

Atau bisa juga, mereka yang terlahir dari ranah tanpa adanya peran adam, terpaksa untuk menjadi pemeran utamanya. Siapapun memang bisa menjadi apapun bukan?

Normalisasinya gini, sepanjang hidup mengarungi identitas ke-perempuan-an ini. Saya rasa yang membuat kaum hawa menjadi terkotak-kotakan ataupun menjadi pemberontak dadakan. Mungkin karena mereka semua termasuk saya; selalu dibiarkan untuk tidak menjadi diri sendiri.

Lihat saja.
Anak perempuan kecil selalu dinormalisasikan atau diarahkan tentang  bagaimana ia memilih mainan kesukaanya yang berbau kerja ranah domestik seperti dapur dan identitas kelembutannya, bagaimana ia memilih pakaian kesukaannya yang berbau nuansa 'girly' tanpa bisa memakai apa yang ia suka. 

Beranjak remaja, perempuan-perempuan itu kemudian diarahkan untuk tunduh, menjaga, patuh dan bermain sesuai dengan yang telah digariskan oleh aturan tak tertulis masyarakat serta terikat dengan beragam hal non-etis lain.

Beranjak dewasa, perempuan-perempuan itu lantas diajarkan cara bersikap yang baik sesuai ekspetasi masyarakat, bagaimana mereka mengelola usia dan masa depan mereka secara bijak. Lantas dipermasalahkan jika tidak menikah dan tidak ingin mempunyai anak. Piciknya kontrol tubuh dan bentuk mereka sendiri harus diatur oleh standarisasi masyarakat.

Para perempuan tersebut mungkin 1-2 lainnya juga akan menemukan apa itu arti dari kebebasan yang selama ini akan dipertanyakan oleh dirinya sendiri. Mungkin mereka akan melihat perempuan seusianya yang begitu bebas ataupun laki-laki lain, lawan jenis seusianya yang begitu maju pola pikirnya maupun perilakunya.

Mungkin perempuan-perempuan tersebut akan menemukan dimana kelompok lawan jenisnya para makhluk adam yang begitu bebas dalam mengekspresikan apapun tapi terbelunggu dalam mengeksplorasi sisi emosionalnya. 

Mungkin perempuan-perempuan itu akan kembali mempertanyakan siapa dirinya? Dan jelas mengapa kaumnya begitu naif, selalu berlomba ingin menjadi yang terbaik tanpa tau jati dirinya yang paling apik?

Lantas, tidak hanya saya yang merasakan sebagai seorang hawa yang mencari jati dirinya. Barangkali teman-teman kaum adam lainnya juga merasakan tuntutan yang sama dalam belenggu perspektif patriarkinya?

Women Empowered Women.
God Bless U.






Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sudahkah Kamu Merasa Benar-Benar Bebas?

Bicara Harga Diri Perempuan: Jadi Matre Itu Perlu, Ladies!

Memanusiakan Manusia: Buah bisa Jadi Guru Buat Lo!