Diagnose Destiny'?
Mendiagnosis takdir; prolognya.
"Huftt", umpat si tuan tanah kali ini
berkali-kali. Entah mau memakai cara apa lagi untuk memulai aktif menulis
abstrak di laman ini. Sepertinya kalau baku pikir menerus tentang rentetan
beban hidup tentunya para penumpang bisa pindah haluan ke laman sebelah,
xdxdxd. Intermezo sedikit lah ya, gausah terlalu rumit bahas ginian, rek.
Oke, kembali ke this topic.
(Potret senja di Tanah Timur Indonesia; Kakuluk Mesak, NTT; 14/12/21)
Dan sampailah di bagian akhir untuk penutup kisah 2021 ini; conclusion. Tersadar, kadang untuk beberapa hal-hal yang datang dan ngga terkontrol mungkin memang solusi terbaiknya adalah menerima. Kadang dengan hati yang belum bisa menerima, tanpa sadar kita menjadi lebih cepat untuk self-judgment. Menyalahkan diri sendiri, merasa pilihan yang diambil itu salah, segalanya ngga berarti atau bahkan merasa takut untuk melihat hal-hal kedepan.
Tapi, satu hal yang pasti. Dengan segala kecemasan itu,
akhirnya bisa membuat kita menjadi human diagnosing destiny. Mudah menyimpulkan hal-hal apa saja yang
bisa terjadi kedepan yang berakibat overthingking. Bukan menyimpulkan hal-hal
yang sudah pasti akan terjadi, tapi untuk hal-hal yang belum pasti terjadi.
Tentu bagian ini bisa dikatakan dangerous, apalagi bila diasumsikan secara
terus-menerus yang berujung depressed, stress, etc. Juga biasanya, hal semacam
inilah yang sekarang menjadi makanan sehari-hari today's millennial.
Dengan mengutip firman-Nya:
وَعَسَى
أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ
لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا
شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Epilog; grateful.
"Let it be, make it be", ucapnya kala itu di
penghujung tahun bagian lalu.

caakeuupp
BalasHapusnuhun atuh teteh :*
Hapus