Tertipu? Kita Tidak Benar-Benar Move On.
Petir apa yang menyambar gue kali ini, entahlah. Dua tahun kurang, tepatnya satu tahun lebih lima bulan blog ini sunyi ga pernah update lagi dalam rintihan kabar si Tuan Pembuat. Banyak hal-hal luar biasa yang terkendali dan di luar kendali gue yang mungkin akan gue mulai pilih satu-satu tentang apa-apa yang pantas dan perlu dibagi rasanya bersama. Anjay, makin edgy aja gue!
Dokumentasi lagi patah hati, 202X.
Entah kesambar petir darimana, gue juga bingung. Hasil dari scrolling foto-foto ala cinlok di bangku jaman menempuh pendidikan dasar, menengah sampai atas (antara kagum, ngakak, malu, bangga, satire sampai gue nahan pipis di atas kasur wkwk).
Gila si, masa-masa itu indah tapi gue beneran ga mau ngulang loh yaa!
Gimana enggak? Lo Mau Tau? Jaman esdeh bray jaman gue pertama kali dicium nih sama temen sebangku gue laki-laki lagi, maklum kali ya namanya juga masih bocah kelas 3. Bjir, pipi kanan gue dicium nemplok sama liur-liur dan ingusan hasil penguapan es mambo yang sering dia minum di jam makan bekal buatan emak. Gue sensor aja namanya, iya namanya DAFA. Gue udah lupa bentukan mukanya udah segede umur ini bakal gimana, intinya gue masi inget itu. Alasan dia nyium pipi? Klasik coy bilangnya gue imut, nyet.
Ada lagi momen lucu di jaman ini, disukai sama adek kelas. Gue lupa namanya, inisialnya aja kali ya si TARNO! Maaf kalo ada yang tersinggung. Inget banget waktu itu di jaman purba part berapa saat kegiatan persami pramuka sekolah. Kebetulan saat itu ada perlombaan Daur Ulang Sampah Botol, ada yang hasil bentukannya jadi robot lah, jadi rumah lah, jadi kebun binatang lah, sampai guru-nya-lah yang akhirnya ikut perlombaan itu bukan muridnya.
Singkatnya waktu itu ada momen dimana semua murid makan botol bareng eh bekel makan siang bareng. Kebetulan posisinya gue gak bawa bekel hingga berakhir duduk di pinggiran kerumunan anak-anak saat itu. Nah, si Tarno ini entah punya sinyal darimana bisa tau posisi gue di kerumunan anak esdeh kelas 4 - 6 saat itu, malah dempet deketin gue dan ngasih bekel buatan emaknya itu ke gue.
“Shit!”, batin gue.
Belum lagi gue dibukain tutup botol air minum gue dan disodorkannya setelah itu. Serasa mau teriak dan berkata, “What? anak ini belajar darimana? gue di treat like a queen, cuy”.
Maklum aja, saat itu usianya kelas 4 esde dan gue beda jauh di atasnya yang sebentar lagi akan lulus dan mengikuti ujian di kelas 6 esde, aduh mama e!
Selebihnya masih ada sih 1-2 orang di jaman ini, namun kisahnya agak samar untuk diingat. Jadi gue tuangkan yang membekas dan lengkap aja ya, maklum lah masa esde itu masa perkembangan bermain anak-anak.
Gue kebanyakan bermain jadi ada beberapa memori yang hilang nyangkut karena keseringan kejar layangan sampai main judi bola gundu di pekarangan rumah tetangga kala itu hahaha.
Next, jaman menengah alias esempe. Di jaman ini gue agak sarkas ya, karena gue rasa ini bucin terlalu tolol sih. Yang dulunya gue dikagumin orang duluan, masa ini berbalik. Dengan pengalaman bagaimana gue bisa menyukai seseorang? crush? cem-ceman? gebetan? itu sudah.
Beruntungnya gue udah lost contact banget sama spesies satu ini dan bagian yang makin menarik di tulisan blog gue kali ini adalah…
Alias, kita memang tidak benar-benar move on, tetapi menyerapnya hingga stay on seakan tidak terjadi apa-apa. Kita menyerapnya, sekali lagi karena merekalah kita bisa menyerapnya. Tentang apa-apa yang kita anggap positif dan berkesan. Hingga bagian dari mereka tanpa sadar ada yang bersatu dan tercermin dalam hidup sekarang.
Mungkin kalian gak sadar secara langsung, tapi karena gue sadar, maka tulisan ini dipersembahkan untuk mereka yang pernah singgah.
Tiga tahun bangku menengah, awal masuk sekolah dengan gerbang tinggi dan berpenjaga pak satpam pula.
“Bener-bener disiplin ini sekolah”, batin gue.
Gimana enggak? Tiga tahun kala itu jaman gue jadi atlet sepeda sampe jadi cewe betis besar karena keseringan sepedahan ataupun jalan kaki melewati tanjakan pasar sampe gang-gang kesenjangan sosial berjarak total pulang-pergi 5 KM. Namanya juga hidup butuh perjuangan jadi ternikmatilah masa-masa itu.
Singkatnya, ada seorang crush dari gayanya yang menurut gue karismatik dan misterius pada pandangan pertama, cailah gombal! Dia memakai kacamata dan gue salut dengan cara dia berpakaian. Bagi orang lain bisa jadi dia culun, bagi gue dia rapih pol, hahaha. Intinya lo tau kan maksud gue, cinta monyet itu kayak gimana.
Yang deg-deg an kalo dia lewat depan kelas gue dengan khas wangi farfumnya. Yang selalu gue noleh ke sumber suara itu semisal ada orang yang memanggil namanya. Yang karenanya gue selalu dateng ke kantin di jam makan siang paling awal supaya bisa ngeliat dia di tempat ter-aman memandang makan sama geng-gengnya. Yang diem-diem nyimpen nomor pin BB nya sampe ke ID Line-nya, aduh! Bahkan jaman itu gue sampe sering mantau beragam tulisan puisi ciptaan dia di beranda Line yang menurut gue indah banget walau bagi orang-orang ga nyambung bahkan ga ngerti sama artinya.
Tapi karena gue suka, intinya seakan-akan gue ngerti, damn! Sampai tibalah momen dimana maraknya giat ekstrakurikuler sekolah dan saat itu wajib untuk join. Sialnya, gue pilih ekskul Gitar Club sama Pencak Silat karena dia juga pilih keduanya, hadeh anak kecil bucin memang. Ya, lama-lama di Gitar Club gue ga bertahan lama dengan jari gue yang kecil dan ga punya gitar saat itu. Belum lagi, dia juga jarang masuk di sana.
So far, kesempatan kami bertemu dan berinteraksi satu-satunya hanya dari Ekskul Pencak Silat. Saking rajinnya gue untuk latihan dan menekuni beragam latihannya karena ada dia disitu, ga ada angin ga ada ujan alhasil gue malah dapet medali perunggu sebagai fighter di kelas C Perlombaan Pencak Silat.
Ada juga momen paling spesial menurut gue, di mana waktu itu gue mau tau banget anak ini rumahnya dimana tepatnya dan di daerah mana. Berakhir dengan gue memutuskan membuntuti dia pas pulang. Hal terlucunya, sehabis balik ekskul silat gue buntutin dia pulang ke rumah bareng temen-temennya. Dia jalan kaki dan gue malah ikut jalan kaki nuntunin sepeda sampai boncos.
Tamatnya gue hilang jejak dan cuma bisa nargetin daerah dan beberapa rumah yang kemungkinan rumah dia. Entah itu tembok putih berpagar, oranye berpagar atau rumah tembok merah yang ada kandang burungnya di balkon halaman, hehehe. Selama perjalanan balik ke rumah habis menguntit dalam hati bergumam, “Gue udah kayak penguntit penculik berencana anak bocah laki-laki esempe aja njir”. Itulah BBK, Bocah Bucin Konyol.
But, genap sembilan tahun nama dan kenangannya berlalu. Puisi-puisi buatannya yang dia upload di beranda Line masih tertata rapih di buku catatan rumah gue. Bahkan tanpa sadar, karyanya dia yang begitu puitis, karismatik dan misterius membuat gue hafal mati salah satu puisinya diluar kepala.
Setiap gugus bintang serta dera-deru angin adalah cerita dan cita di dalamnya
yang mungkin menolak untuk diingat.
Pada setiap lagu yang berputar di ambang senja terdapat aromamu.
Kisah, pertemuan dan akhir yang menolak untuk diberi tanda tanya.
Bahkan semesta hati yang memiliki hati tak selamanya menerima kesempurnaan yang sempurna
dari jiwa seorang hawa.
- dia, 2015.
“Ini puisi sampai gue pensiun pun masih gue hafal mati di luar kepala kayaknya”.
Gue beneran dibuat tersihir bahkan sejatuh-jatuhnya sama karya juga orangnya. Puisi yang mengandung racun membuat gue jadi ikut puitis bahkan ikut menciptakan beberapa karya puitis juga kala itu. Setiap puisi yang dia upload di beranda Line kala itu ngebuat gue bener-bener tertantang untuk menafsir dan menebak-nebak sekiranya perasaan dan pesan apa yang mau disampaikan di alunan syair singkat ini. Udah macam paranormal cabang tafsir bahasa Indonesia dah intinya.
Dahsyatnya lagi, romantisasi puisi dan normalisasi kata-kata candu di setiap puisi itu menurun hingga sekarang dalam diri gue. Gue jadi belajar banyak tentang puisi dan mahir membuat puisi. Ya berkat dia sekali lagi.
Berkatnya, gue belajar banyak walaupun sial di tengah perjalanan bucin goblok itu gue akhirnya tau dan menjadi saksi bahwa dirinya sudah punya pacar temen sekelasnya bahkan sampai dia melalui masa putus, jomblo zone dan lulus esempe pun. Gue tanpa sadar jadi saksi karya-karyanya.
“Emang lu ga confese ke dia ca?”, tertawa satire.
Sumpah gue confese woy, elit! perempuan mental laki nih gue bisa confese ke dia. Sialnya, berujung penolakan dan sakit hati hahahaha. Mungkin gue yang salah tafsir, mungkin ga bermaksud menyakiti, maklum aja mental masih cinta monyet dan bocah kala itu, lugu katanya.
Singkatnya, gue rangkum masa esempe itu masa gue berkembang, mulai memperhatikan, mulai tertarik, mulai meniru, mulai bertindak dan mulai melakukan serta mulai tumbuhnya sebuah kesadaran. Masa-masa eksplorasi sih katanya.
Mulai sadar untuk bertanya, sadar mencari jawaban, sadar melakukan (meniru) dan sadar mendapat jawaban.
Selanjutnya, masa esema. Di zona bertepuk sebelah tangan sebelumnya, ya tentu belum bisa move on. Karya puitis, karismatik dan misterius itu terekam dan tertiru menjadi hal positif. Sayangnya saat esema itu gue ga terlalu banyak ada kisah romansa.
Gimana ga? Sekolah esema gue sibuk hafalan ayat, organisasi sama pertengkaran keluarga saat itu. Boro-boro mikirin gebetan. Dalam fikiran cuma ada kata “Kapan si ada jam kosong? Kapan si jam istirahat? Kapan si setoran ayat gue ga remedial”, kudet banget dah hahaha.
Tetapi, mungkin ada satu sampai beberapa orang yang gue kagumi namun ga bisa secara gamblang gue lantunkan disini. Dimulai ketika tiba-tiba gue jadi pecinta alam dan nyoba untuk first hiking di kesempatan Gunung prau. Gue yang tiba-tiba jadi ikut buka blog tulisan ini karena gebetan yang suka banget nerbitin cerita hidup, perumpamaan, lantunan puisi bahkan syair singkat lagi seperti yang lalu-lalu. Hingga gue yang di jaman perkuliahan pun jadi bisa enjoy dan candu untuk ikut event running, lomba kepenulisan dan lainnya.
Sampai akhirnya kecintaan dan kekaguman terhadap seseorang itu bukan lagi berbentuk yang mengharuskan gue untuk confese perasaan, tetapi ke arah gimana caranya gue bisa memberi pengaruh ke orang lain tapi dengan langkah yang sama namun beda posisi.
Posisi kali ini gue harus berbahagia sama apa yang gue lakukan hingga menginspirasi sampai orang lain menjadikan gue “crush-nya”, so deep.
Dokumentasi puisi karya pribadi berkat dirinya, 2022.
Dia mendekap bagai nirwana saat fajar menyingsing.
Di Sisipan pagi kali ini terbalas semburat haru dalam nitra.
Tarian pagi telah dimulai sejak diterimanya uluran tangan itu.
Aku berjibaku pada mawar yang kugenggam di pekarangan pekan lalu.
Dengan berdarah-darah tatkala perihku bisa sepadan dengan apa yang tertuang di lukisan semesta saat ini.
Aku berharap tuk terus meminta harap pada semesta.
- Lentera, 2022.
Akhirnya, gue menjalani semua perjalanan rasa itu dengan segamblang mungkin sekarang. Bukan yang datang menggebu-gebu lagi seperti fase dan zona sebelumnya. Tetapi lebih ke arah bagaimana selanjutnya respon gue untuk menerima jawaban.
Dimana saat itu ngajarin gue bahwa kita ga benar-benar berharga ataupun bernilai. Sampai kita punya hal positif atau punya hal bernilai untuk orang lain tiru. Orang meniru entah sebagai pengagum, penyuka, pencinta, penonton bahkan pembenci sekalipun.
Simpelnya, cinta itu ga bisa dipaksakan tapi tumbuh dan sadar sendiri kalau ini beneran tentang cinta. Begitu pun dengan pemberi dan penerima cinta, ga bisa dipaksakan.
Dokumentasi dua bocah lagi study tour di Kupang, 202X.
Lengkapnya gue mulai sadar untuk bertanya, mencari jawaban (melakukan dan meniru hal), mendapat jawaban, menerima jawaban hingga yang datang adalah rasa keikhlasan.
Klasik sih, poinnya kita ga bakal pernah benar-benar bisa move on dari rasa ataupun kolase-kolase kecintaan pelik, menyakitkan bahkan berbuah manis itu.
Gue sadar, kita bakal benar-benar move on sampai kita bisa menyerap hal positifnya hingga bergumam dalam batin kesadaran terdalam, “life must go on, babe”.



Komentar
Posting Komentar